Raihlah
Bintang
Minggu, kurasa hari yang tepat untuk
menyegarkan otakku, setelah enam hari penuh terbumbui dengan pahit, manis,
asam, asin, dan pedasnya pelajaran sekolahku. Kelas XII mulai kurasakan tekanan
sekolah yang berarti ketika target kelulusan harus kucapai.
Kulangkahkan kakiku dari kamarku
yang daun pintunya terukir sebuah kalimat
Adisa
Puspitaningrum, sebagai namaku, kunikmati sapaan udara pagi yang sejuk dan mendamaikan.
Langkah demi langkah, kakiku mengajakku terus berjalan. Mataku menatap
kedepan mengikuti jembatan lurus nan elok dimata, remang nampak bayangan, semakin
jelas dan otakku menerjemahkan bayangan itu tepat di lensa mataku, sosok pemuda
berbadan ramping terlihat semakin mendekat, tak asing bagiku, Agus Tian Ramadhan,
tetangga seberang yang dulu
menjadi teman kecilku.
Berlawanan arah
dan tepat di tengah-tengah jembatan gantung aku berpapasan dengannya, kusapa ia, kuulurkan tanganku kepadanya,
bersalaman, tapi kurasa kasar tangannya. Aneh dan kucoba meraba kehidupannya kini, rasa
penasaran hadir di benakku dan menggeluti hatiku, lama aku tak berbincang
dengannya, kurasa ada yang berbeda dengan beberapa tahun yang lalu ketika ia
masih duduk di bangku SMA, sedang aku masih SMP, kami sering berangkat bersama,
berjalan bersama, menunggu angkutan bersama, tapi ketika ia lulus SMA nyaris
aku tak mengetahui kabar tentangnya. Di pinggir jembatan gantung, sembari menikmati
derasnya aliran air Sungai Njubleg, untaian kata kembali terurai.
“Mau kemana anak
kecil ?? Pagi-pagi sudah disini.” Entah
kenapa dari dulu ia selalu memanggilku anak kecil, dan ternyata masih
diingatnya sampai kini, mungkin karena tubuhku yang berukukuran S alias mungil.
“Ingin cari
yang baru saja.”Jawabku
singkat.
“Yang baru ?”
Agus tak mengerti dengan jawabanku.
“Ingin
ku ganti
kejenuhanku dirumah dengan sejuknya udara pagi ini. Kamu sendiri mau kemana??” tanyaku
penasaran.
“Aku telah terbiasa menjalani kehidupanku seperti ini”
Hatiku semakin penasaran. “Apakah rasa
penasaranku mudah terbaca olehmu?”
“Maksudmu?”
“Kau terlihat berbeda dari yang dulu.”
“Dari segi ?”
“Sepertinya sekarang semangat selalu menghiasi harimu ya, kamu terlihat gigih dalam melakukan apapun.”
“Kenapa kamu
tarik simpul demikian?”
“Tanganmu yang
kali ini berbicara Agus, dan aku bukanlah anak kecil lagi yang dulu sering kamu
bohongi.”
“Ah Adis,
masih ingat saja kamu dengan yang dulu.. memangnya tanganku kenapa??”
“Emmmm...” Sangat ragu aku mengatakannya.
“Kasar ya ???”
“Maaf, mungkin itu karena kamu terlalu bersemangat dalam hidupmu buktinya sepagi
ini kamu sudah di sini.”
“Bagaimana jika aku tak seperti apa yang kamu fikirkan?”
“Aku tak mengerti dengan pertanyaanmu.”
“Sudahlah itu tak cukup penting bagimu anak kecil...”
“Dan jawabanmu tak cukup mengobati rasa penasaranku.”
“Untuk apa kamu tahu ??”
Dia mulai menaikkan nada bicaranya, mungkin dia tak suka dengan sikapku yang terus mencari tahu tentangnya.
Dengan bibir bergetar, kata maaf terlontar dari mulutku.
“Mmmmm...a..afkan aku.”
Agus memandang jauh di antara pematang sawah nan hijau di depan kami,
sementara diriku hanya mampu diam, kami terhanyut dalam kesunyian, suasana begitu dingin.
Seakan tak rela
membiarkan kesunyian kami berlarut, sepasang burung merpati melintas tepat di atas
kami. Udara kembali merambatkan gelombang-gelombang suara dari bibirnya ke
gendang telingaku.
“Merpatipun selalu bersama, tak kan pernah rela jika mereka
harus terpisah, apalagi diriku.” Kata agus.
Aku sama sekali tak mengerti dengan apa yang dikatakannya, hatiku
bertanya-tanya, sementara bibirku masih enggan terbuka, mataku terus terarah mengikuti gerak harmonis
sayap-sayap kecil sepasang Merpati itu.
Aku terhanyut dalam lamunan, tiba-tiba ada yang mendarat di pundakku,
tangan kasarnya membangunkan lamunanku.
“Adis....kamu baik-baik saja?”
“Emmm...iya aku baik-baik saja.”
“Apa yang kamu fikirkan? Ada masalah?”
Kehangatan pembicaraan mulai dirasa kembali.
“Aku masih bingung dengan apa itu hidup.”
“Hidup adalah
kenikmatan yang tak ternilai, yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambanya.”
“Tapi aku masih bingung
dengan kehidupanku.”
“Adis, kau
itu
lebih beruntung daripada hidupku, dan tidak ada yang harus kamu bingungkan,
syukurilah apa yang kamu dapat saat ini karena belum tentu kamu bisa mendapatkannya
lagi.”
“Aku mengerti, tapi tujuan hidupku belum pasti, bertolak belakang dengan kehidupanmu yang
terlihat sudah terarah.”
Aku tak tahu kenapa tiba-tiba tujuan hidup hadir dalam otakku ketika aku di dekatnya.
“Dirimu masih terlalu dini untuk merumuskan tujuan hidup. Teruslah belajar
dan berdoa walau seperti apapun keadaannya, hari esok adalah milikmu.”
“Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan hal itu sepertimu.”
“Kamu salah jika menganggap kehidupanku demikian
Adis, keyakinanlah yang akan membuatmu mengerti, biarkanlah semua seperti air
mengalir dan lakukanlah yang terbaik dalam keseharianmu. ”
“Aku tak mungkin salah, karena itulah yang aku lihat darimu.”
“Sudahlah, anak kecil nggak boleh ngeyel.”
“Ttttt...api bolehkah aku belajar dari hidupmu??”
Aku terus mendesaknya untuk dapat menceritakan kehidupannya
kepadaku, aku tak mengerti mengapa aku begitu ingin mengetahui tentang
kehidupannya kini. Beribu pertanyaan terus saja mengusik hatiku, rasa ingin
tahuku seakan telah memuncak di benakku, namun aku tak tahu bagaimana cara
mengungkapkannya.
“Oh Tuhan bantu aku.” Gumamku dalam hati
Bibir tipis itu mulai terbuka kembali dan menguntaikan beberapa kata,
telingaku mulai bereaksi untuk menerjemahkan kata demi kata yang terurai
darinya.
“Anak kecil, kenapa kamu begitu ingin mengetahui tentang kehidupanku
kini?” kata Agus sambil
mengacak-acak rambutku, senyuman manis sempat kutangkap dari bibirnya.
“Apa aku salah jika aku menjadi secuil bagian dari hidupmu kembali?”
“Aku tak menyalahkanmu, tapi kurasa kamu takkan pernah tahan menjadi bagian
dalam hidupku lagi, kehidupanku sudah jauh berbeda dengan dulu.”
“Aku bukan mantan temanmu, sampai sekarangpun aku masih temanmu, bukan ? Dan
aku ingin belajar dari hidupmu.”
“Tak banyak yang berubah darimu ya, masih suka memaksa,
baiklah.”
Hati yang begitu keras tadi akhirnya mampu aku taklukkan.
Telingaku tak sabar menangkap
gelombang bunyi dari dirinya, untaian kalima tyang akan terangkai menjadi sebuah cerita.
“Aku terlihat selalu bersemangat, gigih dan
bekerja keras, karena memang keadaan yang memaksaku demikian.”
“Apa maksudmu?”
“Aku hanyalah seorang laki-laki yang kesepian, kehidupanku membuatku merasa seperti orang asing, nyaris tak
pernah ada senyum yang terlukis di bibirku tak ada teman dalam hidupku, tak ada
yang mau memperhatikanku.”
“Jangan begitu, aku masih temanmu.”
“Benarkah??”
“Tentu saja, namun aku masih belum
mengerti dengan apa yang kamu ceritakan.”
“Awalnya semua memang baik-baik saja,
kehidupanku berjalan layaknya kehidupan orang-orang pada umumnya, namun hal itu
ternyata berakhir dengan mudah.”
Gambaran-gambaran itu masih begitu abstrak untuk kuterjemahkan.
“Aku belum
mengerti.” Ungkapku
pada Agus.
“Siang itu,
kujalani aktivitasku seperti biasa, membantu ayahku bekerja diladang. Sebelum berangkat
tak lupa aku berpamitan dengan ibuku yang saat itu terbaring lemah diranjang
tuanya.”
“Ibumu sedang
sakit ?”
“Iya Adis. “Nak, bekerjalah untuk membantu ayahmu dengan
rajin, bersemangatlah, jangan pernah berputus asa atas keadaan sesulit apapun,”
itulah pesan ibuku.
Kemudian aku
dan ayahku melangkahkan kaki memulai pekerjaan di ladang, meninggalkan ibu di
rumah sendirian. Kami bekerja dengan penuh semangat, terik matahari tak menjadi
inhibitor, keringat bening mulai
membanjiri sela-sela pelipis mata kami, irama kicauan burung bersenandung, sengaja
menyanyikan lagu terindahnya. Ku hentikan sejenak gerakan batang cangkulku, fikiranku
tertuju pada sosok ibu yang terbaring lemah di ranjang sendirian. Ini tak
seperti biasanya perasaanku terganjal oleh sesuatu yang tak ku mengerti. Mataku
lama tak berkedip, ternyata aku larut dalam lamunan. “aaawww...” Suara ayah membangunkan lamunanku, kulihat
merah-merah mengucur dari sela jemari kaki ayah. Jantungku berdegup kencang,
badanku gemetar, tanpa fikir panjang ku robek ujung kanan bawah baju lusuhku
untuk membalut luka ayah.
Ternyata kami
mengalami hal yang sama, ayahku pun tak tenang karena terbayang sosok ibu dalam
hatinya, hingga tajamnya mata cangkul
mendarat di kakinya.
Merah darah
ayah seakan memberi isyarat kepada kami untuk segera pulang, dengan tergopoh-gopoh aku papang
ayah yang sepertinya
sengaja menyembuyikan rasa sakitnya dariku menuju gubuk
kami.
Sesampai di
rumah langsung kami tuju ranjang tua ibu, kudengar desahan suara ibu
memanggil-manggil kami, hatiku semakin berdegup kencang, segera ku
menghampirinya dan ku peluk erat tubuh kecilnya, entah kenapa kurasakan rindu
mendalam pada ibu, di balik pintu air mata ayah terlihat menggenang di kelopak
matanya ketika melihat
apa yang aku lakukan dengan ibu. Tak tahan, ia menghampiri dan
ikut larut dalam pelukan kami, pelukan terhangat yang pernah aku rasakan,
pelukan terindah yang pernah aku dapatkan, tapi ternyata..itu adalah pelukan
terakhir yang mampu terukir di dalam gubuk tua kami.”
Kulihat hidung
Agus mulai memerah dan matanya
menjatuhkan kristal-kristal
beningnya.
“Aku tak
menyangka Ibu meninggalkan kami begitu cepat. Derai air mata kami mengiringi
kepergiannya, sungguh kenyataan yang sulit aku terima, sosok seorang ibu yang
masih sangat aku butuhkan
pergi begitu saja, aku pun tak menyangka pesan ibu tadi pagi adalah pesan terakhir
untukku dan aku tak mengerti bagaimana menjalani hidup tanpanya.”
Mendengar ceritanya,
air mata yang sempat tertahan di kelopak mataku tumpah sudah, membanjiri
pipiku. Semakin dalam, semakin tak tahan ku mendengarkannya. Agus masih saja
meneruskan ceritanya yang membuat hatiku merinding.
“Kujalani
hidupku tanpanya, terasa berat dan menyiksa, hari demi hari, hingga aku teringat
dengan sesuatu yang kufikir akan mengubah kehidupanku, cita-cita. Tak ada
seorangpun yang tak punya cita-cita, walau dalam keadaan sesulit apapun,
begitulah yang aku rasakan, sebagai mimpi dalam kehidupanku.”
“Bukankah
cita-cita itu adalah motivator hidup?” ku buka bibirku.
“Betul sekali
anak kecil, tapi itu bukan yang aku rasakan.”
“Kenapa??”
“Saat itu…”
Hatiku seakan
tak mampu lagi menampung luapan cerita kehidupan Agus. Luapan-luapan itu terus
menumpuk hingga memecahkan bibirku.
“Cukup.” Nada
ketusku berusaha menghentikan ceritanya.
“Kenapa?
Bukankah kau ingin mengetahui kisah dibalik tangan kasarku dan semua tentangku
kini?”
“Maafkan aku
yang terlalu memaksamu..”
Namun Agus
tetap saja menguraikan cerita hidupnya.
“Tak ada yang
mampu mengerti diriku, tak ada yang berpihak pada tercapai dan terwujudnya
cita-citaku. Dulu ibukulah yang selalu mendukungku, memberi semangat padaku
untuk mengejar mimpi dan menggapai cita-citaku. Namun sekarang hal itu tak bisa
kudapatkan lagi. Pahit rasanya…puih-puih semangatku rapuh dan semakin memudar
nyaris tak ada lagi yang tersisa. Jiwaku mulai tandus, kering keronta, menjerit,
menantikan datangnya titik-titik hujan di musim kemarau….hampa. Kala rindu
sosok Ibu kian mendalam aku pilih bintang malam untuk menemaniku, entah kenapa
aku merasa dekat dengan Ibu disaat
kutatap erat bintang-bintang di malam kelam, aku terbiasa menulis di bawah
sinar bintang.
Ibu..
Disaat malam kutatap
bintang dan bulan yang menerangi bumi, disaat itu pula aku teringat akan
dirimu,
Aku merindukanmu yang telah pergi meninggalkanku untuk
selamanya,
Kini kurasakan hidup tanpamu dan aku sepi Ibu,
Namun inilah kenyataan yang harus aku jalani, kadang kaki
ini terasa berat tuk melangkah,
Ibu..
Terimakasih atas semuanya,
Semua kasih sayang yang kau curahkan untukku, semua
pengorbanan yang kau lakukan demi kebahagiaanku,
Dan maafkanlah anakmu ini yang belum sempat membalas hingga
waktu terakhirmu.
Ibu…
Kini aku merindukanmu,
Merindukan saat-saat bersamamu, tertawa bersamamu, menangis
dimarahi olehmu,
Merindukan sentuhan-sentuhan lembut jemarimu ketika kau
manjakanku.
Ingin rasanya aku berjumpa denganmu, walau hanya dalam
mimpiku, walau hanya sebatas memandang wajahmu.
Saat ku membutuhkanmu, saat ku merindukanmu Bu, hanya
selembar foto peninggalanmu yang dapat mengobatinya.
Ya Allah sungguh aku tak pernah rela kehilangannya,
Namun aku sadar, semua ini adalah milikmu, dan hanya
kepadamu lah semua ini kembali,
Ya Allah..
Jagalah dia selalu, bahagiakan dia disisimu,
Karena dia adalah wanita terbaikku, wanita terhebat yang
pernah aku miliki,
Selamat jalan Ibu,
semoga kita dapat berkumpul di alam surga-Nya, nantilah aku Ibu..
Bulan, bintang sampaikan salam rinduku untuk Ibu terkasihku.
Walau hanya satu dua gores tinta biru, aku lipat kertas itu layaknya pesawat
terbang mainan waktu kecilku, aku terbangkan dari rumah pohon di samping
kamarku. Paperfly, itulah nama
kebiasaan baruku itu.”
“Hal itu membuatku pilu, aku bisa memahamimu Agus, tapi aku tak bisa
membayangkan kepiluan hatimu, ketegaranmu sungguh tak teruraikan. Lalu
cita-citamu ?”
“Ayahku adalah
orang yang paling menentang cita-citaku. Akademi militer, impian terbesar dan
terberat yang aku dambakan sejak aku masih duduk di kelas empat SD. Impian itu
tumbuh ketika awal kedatangan pleton-pleton militer di salah satu tempat wisata
yang saat itu masih sederhana di desa kita ini, Monumen Jenderal Soedirman,
mungkin kamu masih kecil, saat itu aku menyaksikan kegagahan, keberanian, dan
kedisiplinan di jiwa-jiwa pembela tanah air bersama ibuku. Di tengah asyiknya
menyaksikan, aku bergumam lirih pada Ibu, “Aku
ingin seperti mereka bu..” ibu tersenyum dan berkata “Kelak kau pasti bisa seperti mereka Nak, belajarlah dengan rajin dan
bersungguh-sungguh, doa Ibu menyertaimu.” Dari situlah aku mulai terobsesi
untuk menjadi anggota militer, berjiwa nasionalisme dan patriotisme,
mempertahankan kesatuan negeri tercinta.
Kami anak-anak yang ada di desa ini
Berjanji untuk meneruskan cita-cita bangsa
Membangun negeri tempatku dibesarkan
Oleh ayah bundaku
tercinta
Aku akan
belajar menuntut ilmu yang tinggi
Sebagai
bekal kelak jika aku sudah dewasa
Dengan
segenap jiwa dan ragaku ini
Pada desaku aku
berjanji
Sawah ladang membentang rapi
Gunung berjajar memagari
Sungai nan jernih membasuhi bumi
Ku syukuri nikmat alam ini
Kami anak-anak yang ada
di desa ini
Berjanji untuk
meneruskan cita-cita bangsa
Dengan segenap jiwa dan
ragaku ini
Pada desaku aku
berbakti.”
Walau kulihat titik air mengalir dari kedua
matanya, namun kudengar merdu lantunan lagu dari bibirnya, mendamaikan ketegangan
hatiku.
” Kurasa kamu
lebih bakat menjadi penyanyi daripada seorang taruna.” Alihku.
“Lagu
itulah yang membuatku semangat kala itu. Tapi..”
“Tapi
apa?”
“Kebimbangan hidupku sangat diuji
kala itu, puih-puih semangat jiwaku yang rapuh bersama perginya ibu, semakin
dibentur keras oleh pertentangan ayah, menghadirkan keputusasaan dalam diriku,
hancur, remuk, hilang bentuk, itulah jiwaku saat itu, tangisku pecah di setiap
sujud malamku.
Ya Allah..
Di perjalanan yang entah dimana
ujungnya ini,
Sering kali ujian memburu
Keimanan menjadi lesu, hati di
pasung nafsu
Dan di saat lain pula keinsafan
bertamu
Penyiksaan membelenggu,
Jiwa dan raga bagai di palu
Lantas dalam sujudku, nama-Mu
kuseru,
Keberadaanku nyata di hadapanmu
Keadaanku tak tersembunyi darimu
Berilah aku hidayah dan cahaya untuk
sampai kepada-Mu
Teguhkanlah aku dalam pengabdian
kepada-Mu
Ya Allah
Rahmat dan kasih sayangmu kurindu,
Oh.. Ibu
Kasih sayangmu pula yang kurindu.”
Tak kusadari air mataku menetes
mendengar hal itu.
“Tuhan sebenarnya telah
menyediakan penyelesaian atas kesulitan yang kita hadapi, namun Tuhan tidak
segera menurunkan penyelesaiannya karena ingin mengetahui seberapa besar cinta
kita kepada-Nya. ” sahutku.
“Tapi fikiranku
masih jauh dari itu Adis, kala itu keegoisanku membara hingga membuatku pergi
jauh dari gubuk yang kurasa sebagai hulu penderitaan, tak kupedulikan apa yang
ada di sekitarku, termasuk ayah. Jakarta menjadi saksi kelusuhan dan keresahan
batinku, beberapa bulan aku merenungkan hidup di Ibukota Negara, aku tak
mengerti bagaimana langkah kakiku bisa membawaku dari desa kecil Pakis Baru
sampai dikota ini dengan bersaku Rp
15.000,00, bahkan
untuk sampai disana aku tak bisa menghitung berapa banyak mobil yang aku
tumpangi. Tapi disanalah Allah memberikan jawaban
sujud solat malamku, dari setiap doa yang kumunajahkan hanya kepada Allah.”
“Doa,
memberikan kekuatan pada yang lemah, membuat orang tidak percaya menjadi
percaya, memberikan keberanian pada orang yang ketakutan, dan memberikan cahaya
di atas kegelapan,” aku menanggapi dalam cerita Agus.
“Walau keadaan
sesulit dan sehancur apapun,namun tentang solat kuusahakan tak pernah aku
gadaikan, itulah waktuku bermesraan dengan sang khalik. Rambatan cahaya hadir di hatiku, aku mulai menyadari bahwa
maksud hati ayah adalah benar, sangat besar pengorbanan untuk akademi militer,
termasuk keluarga. Kedewasaanku mulai terbendung di waktu yang sesingkat itu. kondisi
dan keadaan mendorongku untuk memikirkan kehidupan yang sesungguhnya, pikiranku
mulai terarah pada sosok-sosok teman hidupku kelak, aku tak ingin jika harus
mengalami hal yang sama ketika harus berpisah dengan orang-orang terkasih.
Mungkin
terdengar aneh, seorang yang baru berusia 19 tahun mampu berfikir sejauh itu,
sedangkan teman-teman sebayaku masih sangat menikmati masa indah remajanya.
Disamping hal itu aku masih memiliki kewajiban untuk membahagiakan satu-satunya
orang tua yang masih kumiliki saat ini, ayah, aku tak ingin membuatnya kecewa.
Kuputuskan untuk pulang dan segera menemui ayahku yang masih setia di gubug tua
itu. Tak banyak yang berubah, aktivitas-aktivitasnya masih sama, saat itu
dia sedang asyik bercengkerama dengan lima ekor kambingnya, kusapa ia dan
tampak terkejut ia serta merta memelukku tanpa banyak kata yang keluar dari
bibirnya, air matanya lah yang berbicara mengukirkan bagaimana perasaan
hatinya. Hal itu membuatku sadar akan hidup ini, membuatku sangat merasa
bersalah padanya. Aku minta maaf padanya, kucium lututnya, dan air mataku jatuh
di punggung kakinya. Sejak saat itu ayah memberikan kebebasan kepadaku untuk
memilih jalan hidupku.”
“Lalu jalan
yang kamu pilih?” aku menanggapi lagi ceritanya.
“Sejak saat itu
pula aku berkomitmen, untuk mengubur dalam-dalam impian masa kecilku, aku
mengubah haluan jalanku untuk memperdalam ilmu pengetahuan, kutanyakan pendapatku
ini pada ayah, ternyata dia sangat mendukungku. Dengan keadaan yang ada aku memilih melanjutkan sekolahku di salah
satu perguruan tinggi terdekat, STKIP PGRI Pacitan, disana aku mulai menimba
ilmu kembali, fakultas pendidikan sejarah yang akan aku dalami, aku sudah mulai
menyukai mata pelajaran ini sejak aku
duduk di bangku SMA, sehingga tak begitu banyak menyita waktu untuk beradaptasi
dengan pendidikan satu ini.
Tiga semester dapat ku lalui
dengan baik, hingga aku mengenal sebuah organisasi yang mengingatkanku pada
cita-cita masa kecilku, MENWA (Resimen Mahasiswa) yaitu sebuah organisasi yang
bergerak sebagai komponen cadangan TNI AD, mungkin itu jalan yang di berikan
Allah atas doa ibuku, tak kusangka aku lolos seleksi, dan masuk menjadi salah
satu anggota. Dan ku anggap ini adalah takdirku.
“Takdir itu
bukan hanya masalah pilihan,
tetapi juga masalah kesempatan,
takdir bukannya harus ditunggu, tapi takdir haruslah diraih.” Sebatas itu
jawabku untuknya.
“Bagai
air yang menyirami tandusnya gurun
hatiku, semangatku sedikit terbangun kembali. Awal sebagai anggota, dengan izin
ayah dan izin kampus, kuikuti pendidikan MENWA selama 21 hari di Malang.
Terpaksa aku harus meninggalkan ayahku sendirian lagi, berat rasanya ketika aku
berpamitan dengan tangan ayah yang semakin keriput tangisan di antara kamipun tak mampu terbendungkan lagi,
walau hanya 21 hari namun itu akan terasa lama.
“Ayah
aku akan merindukanmu..” bisikku padanya
“Jaga dirimu baik-baik Nak..”
pesan ayah
untukku.
“Aku akan berusaha membanggakanmu
ayah , sebelum angin berhenti menderu.”
“Ibumu pasti bangga melihatmu,”
“Amiinn.”
Aku
langkahkan kakiku dari gubuk yang semakin tua itu.
Satu hari, dua
hari, ku ikuti pendidikan MENWA, awalnya terasa sangat berat, ingin rasanya
segera pulang, namun setelah melewati minggu pertama, aku mulai terbiasa dengan
kerasnya pendidikan ini. Walau tangan sempat terbakar dengan panasnya aspal,
punggung memar dengan cambukan, tulang linu, dan badan pegal oleh dinginnya air
tengah malam, ternyata hal itu dapat merombak hidupku dari kerapuhan.
Kusyukuri dan
kuresapi nikmat Allah yang diberikan padaku, walau dengan kesederhanaan aku
bisa mengenyam pendidikan sejauh ini, kenikmatan tiada tara bagiku. Maka untuk
apa dirimu terlalu berat merumuskan tujuan hidupmu, sedang keadaanmu jauh lebih
beruntung dariku Adis ?.”
Aku hanya
termenung mendengar kata-katanya, lebih dalam
kuserap setiap untaian kata-katanya, sangat beruntung orang yang akan di
dampinginya kelak, dia begitu dewasa.
Matahari semakin memuncak,
kurasakan semakin panas radiasi pancaran sinarnya.
“Malah bengong, pukul berapa sekarang?” Tanya Agus mengagetkanku.
“ pukul 11.32.”
“Astaghfirullah..Maaf, aku harus pergi ke ladang, belum ada sebatang
rumputpun yang ada di tanganku, sedang hari semakin siang.”
“Maaf telah mengganggu waktumu,
terimakasih untuk pertemuan ini.”
“Tak apa, semoga itu bermanfaat,
satu nasehatku untukmu anak kecil, berduka, berkabung, menyesali, dan berputus
asa tak kan mampu mengubah keadaan, hanya bergerak, melangkah dan berbuatlah
yang bisa menggantikan kerapuhan menjadi kebahagiaan, raihlah bintang-bintang,
yang bersinar walau semua cahaya telah redup. ”
Dia beranjak
pergi meninggalkanku dengan senyum mengembang di bibirnya, senyum adalah anugerah
Tuhan bagi setiap manusia yang mengandung cahaya kebaikan dan kesucian, membawa
kedamaian bagi yang melihat, dan menumbuhkan kasih sayang bagi yang memberi. Sabit
dan tali tampak menemani langkahnya. Aku masih termenung di jembatan gantung
itu, merenungkan nasehatnya yang akan kutanamkan pada diriku, dan aku semakin mengaguminya. Sejak saat itulah
kedekatan kami mulai terbangun kembali.
Terimakasih….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar