Sabtu, 10 Oktober 2015

contoh cerpen



Raihlah Bintang
(Henni Purnama dan Iva Sugiarti XII.IPA SMA N NAWANGAN)
            Minggu, kurasa hari yang tepat untuk menyegarkan otakku, setelah enam hari penuh terbumbui dengan pahit, manis, asam, asin, dan pedasnya pelajaran sekolahku. Kelas XII mulai kurasakan tekanan sekolah yang berarti ketika target kelulusan harus kucapai.
Kulangkahkan kakiku dari kamarku yang daun pintunya terukir sebuah  kalimat Adisa Puspitaningrum, sebagai namaku, kunikmati sapaan udara pagi yang sejuk dan mendamaikan. Langkah demi langkah, kakiku mengajakku terus berjalan. Mataku menatap kedepan mengikuti jembatan lurus nan elok dimata, remang nampak bayangan, semakin jelas dan otakku menerjemahkan bayangan itu tepat di lensa mataku, sosok pemuda berbadan ramping terlihat semakin mendekat, tak asing bagiku, Agus Tian Ramadhan, tetangga seberang yang dulu menjadi teman kecilku.
Berlawanan arah dan tepat di tengah-tengah jembatan gantung aku berpapasan dengannya, kusapa ia, kuulurkan tanganku kepadanya, bersalaman, tapi kurasa kasar tangannya. Aneh dan kucoba meraba kehidupannya kini, rasa penasaran hadir di benakku dan menggeluti hatiku, lama aku tak berbincang dengannya, kurasa ada yang berbeda dengan beberapa tahun yang lalu ketika ia masih duduk di bangku SMA, sedang aku masih SMP, kami sering berangkat bersama, berjalan bersama, menunggu angkutan bersama, tapi ketika ia lulus SMA nyaris aku tak mengetahui kabar tentangnya. Di pinggir jembatan gantung, sembari menikmati derasnya aliran air Sungai Njubleg, untaian kata kembali  terurai.
“Mau kemana anak kecil ??  Pagi-pagi sudah disini.” Entah kenapa dari dulu ia selalu memanggilku anak kecil, dan ternyata masih diingatnya sampai kini, mungkin karena tubuhku yang berukukuran S alias mungil.
“Ingin cari yang baru saja.”Jawabku singkat.
“Yang baru ?”
Agus tak mengerti dengan jawabanku.
Ingin ku ganti kejenuhanku dirumah dengan sejuknya udara pagi ini. Kamu sendiri mau kemana??” tanyaku penasaran.
“Aku telah terbiasa menjalani kehidupanku seperti ini”
Hatiku semakin penasaran. “Apakah rasa penasaranku mudah terbaca olehmu?
“Maksudmu?”
“Kau terlihat berbeda dari yang dulu.”
“Dari segi ?”
“Sepertinya sekarang semangat selalu menghiasi harimu ya, kamu terlihat gigih dalam melakukan apapun.”
“Kenapa kamu tarik simpul demikian?”
“Tanganmu yang kali ini berbicara Agus, dan aku bukanlah anak kecil lagi yang dulu sering kamu bohongi.”
Ah Adis, masih ingat saja kamu dengan yang dulu.. memangnya tanganku kenapa??”
“Emmmm...” Sangat ragu aku mengatakannya.
“Kasar ya ???”
“Maaf, mungkin itu karena kamu terlalu bersemangat dalam hidupmu buktinya sepagi ini kamu sudah di sini.”
“Bagaimana jika aku tak seperti apa yang kamu fikirkan?”
“Aku tak mengerti dengan pertanyaanmu.”
“Sudahlah itu tak cukup penting bagimu anak kecil...”
“Dan jawabanmu tak cukup mengobati rasa penasaranku.”
“Untuk apa kamu tahu ??”
Dia mulai menaikkan nada bicaranya, mungkin dia tak suka dengan sikapku yang terus mencari tahu tentangnya.
Dengan bibir bergetar, kata maaf terlontar dari mulutku.
“Mmmmm...a..afkan aku.”
Agus memandang jauh di antara pematang sawah nan hijau di depan kami, sementara diriku hanya mampu diam, kami terhanyut dalam kesunyian, suasana begitu dingin. Seakan tak rela membiarkan kesunyian kami berlarut, sepasang burung merpati melintas tepat di atas kami. Udara kembali merambatkan gelombang-gelombang suara dari bibirnya ke gendang telingaku.
Merpatipun selalu bersama, tak kan pernah rela jika mereka harus terpisah, apalagi diriku.” Kata agus.
Aku sama sekali tak mengerti dengan apa yang dikatakannya, hatiku bertanya-tanya, sementara bibirku masih enggan terbuka, mataku terus terarah mengikuti gerak harmonis sayap-sayap kecil sepasang Merpati itu.
Aku terhanyut dalam lamunan, tiba-tiba ada yang mendarat di pundakku, tangan kasarnya membangunkan lamunanku.
“Adis....kamu baik-baik saja?”
“Emmm...iya aku baik-baik saja.”
“Apa yang kamu fikirkan? Ada masalah?”
Kehangatan pembicaraan mulai dirasa kembali.
“Aku masih bingung dengan apa itu hidup.”
“Hidup adalah kenikmatan yang tak ternilai, yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambanya.”
“Tapi aku masih bingung dengan kehidupanku.”
Adis, kau itu lebih beruntung daripada hidupku, dan tidak ada yang harus kamu bingungkan, syukurilah apa yang kamu dapat saat ini karena belum tentu kamu bisa mendapatkannya lagi.
Aku mengerti, tapi tujuan hidupku belum pasti, bertolak belakang dengan kehidupanmu yang terlihat sudah terarah.” Aku tak tahu kenapa tiba-tiba tujuan hidup hadir  dalam otakku ketika aku di dekatnya.
“Dirimu masih terlalu dini untuk merumuskan tujuan hidup. Teruslah belajar dan berdoa walau seperti apapun keadaannya, hari esok adalah milikmu.”
“Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan hal itu sepertimu.
“Kamu salah jika menganggap kehidupanku demikian Adis, keyakinanlah yang akan membuatmu mengerti, biarkanlah semua seperti air mengalir dan lakukanlah yang terbaik dalam keseharianmu.
“Aku tak mungkin salah, karena itulah yang aku lihat darimu.”
“Sudahlah, anak kecil nggak boleh ngeyel.”
“Ttttt...api bolehkah aku belajar dari hidupmu??”
Aku terus mendesaknya untuk dapat menceritakan kehidupannya kepadaku, aku tak mengerti mengapa aku begitu ingin mengetahui tentang kehidupannya kini. Beribu pertanyaan terus saja mengusik hatiku, rasa ingin tahuku seakan telah memuncak di benakku, namun aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.
“Oh Tuhan bantu aku.” Gumamku dalam hati
Bibir tipis itu mulai terbuka kembali dan menguntaikan beberapa kata, telingaku mulai bereaksi untuk menerjemahkan kata demi kata yang terurai darinya.
“Anak kecil, kenapa kamu begitu ingin mengetahui tentang kehidupanku kini?” kata Agus sambil mengacak-acak rambutku, senyuman manis sempat kutangkap dari bibirnya.
“Apa aku salah jika aku menjadi secuil bagian dari hidupmu kembali?”
“Aku tak menyalahkanmu, tapi kurasa kamu takkan pernah tahan menjadi bagian dalam hidupku lagi, kehidupanku sudah jauh berbeda dengan dulu.”
“Aku bukan mantan temanmu, sampai sekarangpun aku masih temanmu, bukan ? Dan aku ingin belajar dari hidupmu.
Tak banyak yang berubah darimu ya, masih suka memaksa, baiklah.
Hati yang begitu keras tadi akhirnya mampu aku taklukkan. Telingaku tak sabar menangkap gelombang bunyi dari dirinya, untaian kalima tyang akan terangkai menjadi sebuah cerita.
“Aku terlihat selalu bersemangat, gigih dan bekerja keras, karena memang keadaan yang memaksaku demikian.”
“Apa maksudmu?”
“Aku hanyalah seorang laki-laki yang kesepian, kehidupanku membuatku merasa seperti orang asing, nyaris tak pernah ada senyum yang terlukis di bibirku tak ada teman dalam hidupku, tak ada yang mau memperhatikanku.”
“Jangan begitu, aku masih temanmu.”
“Benarkah??”
“Tentu saja, namun aku  masih belum mengerti dengan apa yang kamu ceritakan.”
“Awalnya semua memang baik-baik saja, kehidupanku berjalan layaknya kehidupan orang-orang pada umumnya, namun hal itu ternyata berakhir dengan mudah.
Gambaran-gambaran itu masih begitu abstrak untuk kuterjemahkan.
“Aku belum mengerti.” Ungkapku pada Agus.
“Siang itu, kujalani aktivitasku seperti biasa, membantu ayahku bekerja diladang. Sebelum berangkat tak lupa aku berpamitan dengan ibuku yang saat itu terbaring lemah diranjang tuanya.”
“Ibumu sedang sakit ?”
“Iya Adis. “Nak, bekerjalah untuk membantu ayahmu dengan rajin, bersemangatlah, jangan pernah berputus asa atas keadaan sesulit apapun,” itulah pesan ibuku.
Kemudian aku dan ayahku melangkahkan kaki memulai pekerjaan di ladang, meninggalkan ibu di rumah sendirian. Kami bekerja dengan penuh semangat, terik matahari tak menjadi inhibitor, keringat bening mulai membanjiri sela-sela pelipis mata kami, irama kicauan burung bersenandung, sengaja menyanyikan lagu terindahnya. Ku hentikan sejenak gerakan batang cangkulku, fikiranku tertuju pada sosok ibu yang terbaring lemah di ranjang sendirian. Ini tak seperti biasanya perasaanku terganjal oleh sesuatu yang tak ku mengerti. Mataku lama tak berkedip, ternyata aku larut dalam lamunan. “aaawww...” Suara  ayah membangunkan lamunanku, kulihat merah-merah mengucur dari sela jemari kaki ayah. Jantungku berdegup kencang, badanku gemetar, tanpa fikir panjang ku robek ujung kanan bawah baju lusuhku untuk membalut luka ayah.
Ternyata kami mengalami hal yang sama, ayahku pun tak tenang karena terbayang sosok ibu dalam hatinya, hingga  tajamnya mata cangkul mendarat di kakinya.
Merah darah ayah seakan memberi isyarat kepada kami untuk segera pulang, dengan tergopoh-gopoh aku papang ayah yang sepertinya sengaja menyembuyikan rasa sakitnya dariku menuju gubuk kami.
Sesampai di rumah langsung kami tuju ranjang tua ibu, kudengar desahan suara ibu memanggil-manggil kami, hatiku semakin berdegup kencang, segera ku menghampirinya dan ku peluk erat tubuh kecilnya, entah kenapa kurasakan rindu mendalam pada ibu, di balik pintu air mata ayah terlihat menggenang di kelopak matanya ketika melihat apa yang aku lakukan dengan ibu. Tak tahan, ia menghampiri dan ikut larut dalam pelukan kami, pelukan terhangat yang pernah aku rasakan, pelukan terindah yang pernah aku dapatkan, tapi ternyata..itu adalah pelukan terakhir yang mampu terukir di dalam gubuk tua kami.”
Kulihat hidung Agus mulai  memerah dan matanya menjatuhkan kristal-kristal beningnya.
“Aku tak menyangka Ibu meninggalkan kami begitu cepat. Derai air mata kami mengiringi kepergiannya, sungguh kenyataan yang sulit aku terima, sosok seorang ibu yang masih sangat aku butuhkan pergi begitu saja, aku pun tak menyangka pesan ibu tadi pagi adalah pesan terakhir untukku dan aku tak  mengerti bagaimana menjalani hidup tanpanya.”
Mendengar ceritanya, air mata yang sempat tertahan di kelopak mataku tumpah sudah, membanjiri pipiku. Semakin dalam, semakin tak tahan ku mendengarkannya. Agus masih saja meneruskan ceritanya yang membuat hatiku merinding.
“Kujalani hidupku tanpanya, terasa berat dan menyiksa, hari demi hari, hingga aku teringat dengan sesuatu yang kufikir akan mengubah kehidupanku, cita-cita. Tak ada seorangpun yang tak punya cita-cita, walau dalam keadaan sesulit apapun, begitulah yang aku rasakan, sebagai mimpi dalam kehidupanku.”
“Bukankah cita-cita itu adalah motivator hidup?” ku buka bibirku.
“Betul sekali anak kecil, tapi itu bukan yang aku rasakan.”
“Kenapa??”
“Saat itu…”
Hatiku seakan tak mampu lagi menampung luapan cerita kehidupan Agus. Luapan-luapan itu terus menumpuk hingga memecahkan bibirku.
“Cukup.” Nada ketusku berusaha menghentikan ceritanya.
“Kenapa? Bukankah kau ingin mengetahui kisah dibalik tangan kasarku dan semua tentangku kini?”
“Maafkan aku yang terlalu memaksamu..”
Namun Agus tetap saja menguraikan cerita hidupnya.
“Tak ada yang mampu mengerti diriku, tak ada yang berpihak pada tercapai dan terwujudnya cita-citaku. Dulu ibukulah yang selalu mendukungku, memberi semangat padaku untuk mengejar mimpi dan menggapai cita-citaku. Namun sekarang hal itu tak bisa kudapatkan lagi. Pahit rasanya…puih-puih semangatku rapuh dan semakin memudar nyaris tak ada lagi yang tersisa. Jiwaku mulai tandus, kering keronta, menjerit, menantikan datangnya titik-titik hujan di musim kemarau….hampa. Kala rindu sosok Ibu kian mendalam aku pilih bintang malam untuk menemaniku, entah kenapa aku merasa dekat dengan Ibu   disaat kutatap erat bintang-bintang di malam kelam, aku terbiasa menulis di bawah sinar bintang.
Ibu..
 Disaat malam kutatap bintang dan bulan yang menerangi bumi, disaat itu pula aku teringat akan dirimu,
Aku merindukanmu yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya,
Kini kurasakan hidup tanpamu dan aku sepi Ibu,
Namun inilah kenyataan yang harus aku jalani, kadang kaki ini terasa berat tuk melangkah,
Ibu..
Terimakasih atas semuanya,
Semua kasih sayang yang kau curahkan untukku, semua pengorbanan yang kau lakukan demi kebahagiaanku,
Dan maafkanlah anakmu ini yang belum sempat membalas hingga waktu terakhirmu.
Ibu…
Kini aku merindukanmu,
Merindukan saat-saat bersamamu, tertawa bersamamu, menangis dimarahi olehmu,
Merindukan sentuhan-sentuhan lembut jemarimu ketika kau manjakanku.
Ingin rasanya aku berjumpa denganmu, walau hanya dalam mimpiku, walau hanya sebatas memandang wajahmu.
Saat ku membutuhkanmu, saat ku merindukanmu Bu, hanya selembar foto peninggalanmu yang dapat mengobatinya.
Ya Allah sungguh aku tak pernah rela kehilangannya,
Namun aku sadar, semua ini adalah milikmu, dan hanya kepadamu lah semua ini kembali,
Ya Allah..
Jagalah dia selalu, bahagiakan dia disisimu,
Karena dia adalah wanita terbaikku, wanita terhebat yang pernah aku miliki,
Selamat jalan Ibu, semoga kita dapat berkumpul di alam surga-Nya, nantilah aku Ibu..
Bulan, bintang sampaikan salam rinduku untuk Ibu terkasihku.
Walau hanya satu dua gores tinta biru, aku lipat kertas itu layaknya pesawat terbang mainan waktu kecilku, aku terbangkan dari rumah pohon di samping kamarku. Paperfly, itulah nama kebiasaan baruku itu.”
“Hal itu membuatku pilu, aku bisa memahamimu Agus, tapi aku tak bisa membayangkan kepiluan hatimu, ketegaranmu sungguh tak teruraikan. Lalu cita-citamu ?”
“Ayahku adalah orang yang paling menentang cita-citaku. Akademi militer, impian terbesar dan terberat yang aku dambakan sejak aku masih duduk di kelas empat SD. Impian itu tumbuh ketika awal kedatangan pleton-pleton militer di salah satu tempat wisata yang saat itu masih sederhana di desa kita ini, Monumen Jenderal Soedirman, mungkin kamu masih kecil, saat itu aku menyaksikan kegagahan, keberanian, dan kedisiplinan di jiwa-jiwa pembela tanah air bersama ibuku. Di tengah asyiknya menyaksikan, aku bergumam lirih pada Ibu, “Aku ingin seperti mereka bu..” ibu tersenyum dan berkata “Kelak kau pasti bisa seperti mereka Nak, belajarlah dengan rajin dan bersungguh-sungguh, doa Ibu menyertaimu.” Dari situlah aku mulai terobsesi untuk menjadi anggota militer, berjiwa nasionalisme dan patriotisme, mempertahankan kesatuan negeri tercinta.

Kami anak-anak yang ada di desa ini
Berjanji untuk meneruskan cita-cita bangsa
Membangun negeri tempatku dibesarkan
Oleh  ayah bundaku tercinta
            Aku akan belajar menuntut ilmu yang tinggi
            Sebagai bekal kelak jika aku sudah dewasa
            Dengan segenap jiwa dan ragaku ini
Pada desaku aku berjanji
            Sawah ladang membentang rapi
            Gunung berjajar memagari
            Sungai nan jernih membasuhi bumi
            Ku syukuri nikmat alam ini
                        Kami anak-anak yang ada di desa ini
                        Berjanji untuk meneruskan cita-cita bangsa
                        Dengan segenap jiwa dan ragaku ini
                        Pada desaku aku berbakti.”
             Walau kulihat titik air mengalir dari kedua matanya, namun kudengar merdu lantunan lagu dari bibirnya, mendamaikan ketegangan hatiku.
” Kurasa kamu lebih bakat menjadi penyanyi daripada seorang taruna.” Alihku.
            “Lagu itulah yang membuatku semangat kala itu. Tapi..”
            “Tapi apa?”
“Kebimbangan hidupku sangat diuji kala itu, puih-puih semangat jiwaku yang rapuh bersama perginya ibu, semakin dibentur keras oleh pertentangan ayah, menghadirkan keputusasaan dalam diriku, hancur, remuk, hilang bentuk, itulah jiwaku saat itu, tangisku pecah di setiap sujud  malamku.
            Ya Allah..
            Di perjalanan yang entah dimana ujungnya ini,
            Sering kali ujian memburu
            Keimanan menjadi lesu, hati di pasung nafsu
            Dan di saat lain pula keinsafan bertamu
            Penyiksaan membelenggu,
            Jiwa dan raga bagai di palu
            Lantas dalam sujudku, nama-Mu kuseru,
            Keberadaanku nyata di hadapanmu
            Keadaanku tak tersembunyi darimu
            Berilah aku hidayah dan cahaya untuk sampai kepada-Mu
            Teguhkanlah aku dalam pengabdian kepada-Mu
            Ya Allah
            Rahmat dan kasih sayangmu kurindu,
Oh.. Ibu
Kasih sayangmu pula yang kurindu.”
Tak kusadari air mataku menetes mendengar hal itu.
“Tuhan sebenarnya telah menyediakan penyelesaian atas kesulitan yang kita hadapi, namun Tuhan tidak segera menurunkan penyelesaiannya karena ingin mengetahui seberapa besar cinta kita kepada-Nya. ” sahutku.
“Tapi fikiranku masih jauh dari itu Adis, kala itu keegoisanku membara hingga membuatku pergi jauh dari gubuk yang kurasa sebagai hulu penderitaan, tak kupedulikan apa yang ada di sekitarku, termasuk ayah. Jakarta menjadi saksi kelusuhan dan keresahan batinku, beberapa bulan aku merenungkan hidup di Ibukota Negara, aku tak mengerti bagaimana langkah kakiku bisa membawaku dari desa kecil Pakis Baru sampai dikota ini dengan bersaku         Rp 15.000,00, bahkan untuk sampai disana aku tak bisa menghitung berapa banyak mobil yang aku tumpangi. Tapi disanalah Allah memberikan jawaban sujud solat malamku, dari setiap doa yang kumunajahkan hanya kepada Allah.”
“Doa, memberikan kekuatan pada yang lemah, membuat orang tidak percaya menjadi percaya, memberikan keberanian pada orang yang ketakutan, dan memberikan cahaya di atas kegelapan,” aku menanggapi dalam cerita Agus.
“Walau keadaan sesulit dan sehancur apapun,namun tentang solat kuusahakan tak pernah aku gadaikan, itulah waktuku bermesraan dengan sang khalik. Rambatan cahaya hadir di hatiku, aku mulai menyadari bahwa maksud hati ayah adalah benar, sangat besar pengorbanan untuk akademi militer, termasuk keluarga. Kedewasaanku mulai terbendung di waktu yang sesingkat itu. kondisi dan keadaan mendorongku untuk memikirkan kehidupan yang sesungguhnya, pikiranku mulai terarah pada sosok-sosok teman hidupku kelak, aku tak ingin jika harus mengalami hal yang sama ketika harus berpisah dengan orang-orang terkasih.
Mungkin terdengar aneh, seorang yang baru berusia 19 tahun mampu berfikir sejauh itu, sedangkan teman-teman sebayaku masih sangat menikmati masa indah remajanya. Disamping hal itu aku masih memiliki kewajiban untuk membahagiakan satu-satunya orang tua yang masih kumiliki saat ini, ayah, aku tak ingin membuatnya kecewa. Kuputuskan untuk pulang dan segera menemui ayahku yang masih setia di gubug tua itu. Tak banyak yang berubah, aktivitas-aktivitasnya masih sama, saat itu dia sedang asyik bercengkerama dengan lima ekor kambingnya, kusapa ia dan tampak terkejut ia serta merta memelukku tanpa banyak kata yang keluar dari bibirnya, air matanya lah yang berbicara mengukirkan bagaimana perasaan hatinya. Hal itu membuatku sadar akan hidup ini, membuatku sangat merasa bersalah padanya. Aku minta maaf padanya, kucium lututnya, dan air mataku jatuh di punggung kakinya. Sejak saat itu ayah memberikan kebebasan kepadaku untuk memilih jalan hidupku.”
“Lalu jalan yang kamu pilih?” aku menanggapi lagi ceritanya.
“Sejak saat itu pula aku berkomitmen, untuk mengubur dalam-dalam impian masa kecilku, aku mengubah haluan jalanku untuk memperdalam ilmu pengetahuan, kutanyakan pendapatku ini pada ayah, ternyata dia sangat mendukungku. Dengan keadaan yang ada  aku memilih melanjutkan sekolahku di salah satu perguruan tinggi terdekat, STKIP PGRI Pacitan, disana aku mulai menimba ilmu kembali, fakultas pendidikan sejarah yang akan aku dalami, aku sudah mulai menyukai mata pelajaran  ini sejak aku duduk di bangku SMA, sehingga tak begitu banyak menyita waktu untuk beradaptasi dengan pendidikan satu ini.
Tiga semester dapat ku lalui dengan baik, hingga aku mengenal sebuah organisasi yang mengingatkanku pada cita-cita masa kecilku, MENWA (Resimen Mahasiswa) yaitu sebuah organisasi yang bergerak sebagai komponen cadangan TNI AD, mungkin itu jalan yang di berikan Allah atas doa ibuku, tak kusangka aku lolos seleksi, dan masuk menjadi salah satu anggota. Dan ku anggap ini adalah takdirku.
“Takdir itu bukan hanya masalah pilihan, tetapi juga masalah kesempatan, takdir bukannya harus ditunggu, tapi takdir haruslah diraih.” Sebatas itu jawabku untuknya.
            “Bagai air yang menyirami  tandusnya gurun hatiku, semangatku sedikit terbangun kembali. Awal sebagai anggota, dengan izin ayah dan izin kampus, kuikuti pendidikan MENWA selama 21 hari di Malang. Terpaksa aku harus meninggalkan ayahku sendirian lagi, berat rasanya ketika aku berpamitan dengan tangan ayah yang semakin keriput tangisan di antara kamipun tak mampu terbendungkan lagi, walau hanya 21 hari namun itu akan terasa lama.
Ayah aku akan merindukanmu..” bisikku padanya
            Jaga dirimu baik-baik Nak..” pesan ayah untukku.
            “Aku akan berusaha membanggakanmu ayah , sebelum angin berhenti menderu.”
            Ibumu pasti bangga melihatmu,”
            Amiinn.”
Aku langkahkan kakiku dari gubuk yang semakin tua itu.
Satu hari, dua hari, ku ikuti pendidikan MENWA, awalnya terasa sangat berat, ingin rasanya segera pulang, namun setelah melewati minggu pertama, aku mulai terbiasa dengan kerasnya pendidikan ini. Walau tangan sempat terbakar dengan panasnya aspal, punggung memar dengan cambukan, tulang linu, dan badan pegal oleh dinginnya air tengah malam, ternyata hal itu dapat merombak hidupku dari kerapuhan.
Kusyukuri dan kuresapi nikmat Allah yang diberikan padaku, walau dengan kesederhanaan aku bisa mengenyam pendidikan sejauh ini, kenikmatan tiada tara bagiku. Maka untuk apa dirimu terlalu berat merumuskan tujuan hidupmu, sedang keadaanmu jauh lebih beruntung dariku Adis ?.”
Aku hanya termenung mendengar kata-katanya, lebih dalam  kuserap setiap untaian kata-katanya, sangat beruntung orang yang akan di dampinginya kelak, dia begitu dewasa.
Matahari semakin memuncak, kurasakan semakin panas radiasi pancaran sinarnya.
“Malah bengong, pukul berapa sekarang?” Tanya Agus mengagetkanku.
“ pukul 11.32.”
Astaghfirullah..Maaf, aku harus pergi ke ladang, belum ada sebatang rumputpun yang ada di tanganku, sedang hari semakin siang.”
“Maaf telah mengganggu waktumu, terimakasih untuk pertemuan ini.”
“Tak apa, semoga itu bermanfaat, satu nasehatku untukmu anak kecil, berduka, berkabung, menyesali, dan berputus asa tak kan mampu mengubah keadaan, hanya bergerak, melangkah dan berbuatlah yang bisa menggantikan kerapuhan menjadi kebahagiaan, raihlah bintang-bintang, yang bersinar walau semua cahaya telah redup. ”
Dia beranjak pergi meninggalkanku dengan senyum mengembang di bibirnya, senyum adalah anugerah Tuhan bagi setiap manusia yang mengandung cahaya kebaikan dan kesucian, membawa kedamaian bagi yang melihat, dan menumbuhkan kasih sayang bagi yang memberi. Sabit dan tali tampak menemani langkahnya. Aku masih termenung di jembatan gantung itu, merenungkan nasehatnya yang akan kutanamkan pada diriku, dan aku  semakin mengaguminya. Sejak saat itulah kedekatan kami mulai terbangun kembali.


 

Terimakasih….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar